Minggu, 01 Oktober 2017

Kidung Sunyi 700 Jiwa Korban Pembantaian 1965 Di Desa Mlancu - Kandangan - Kediri


Sabtu, 30 September 2017
Entah kenapa dari pagi suasana hati dan pikiranku seolah berada dalam nuansa rendezvous terhadap euphoria setengah abad silam. Euphoria 1965 di kampung halamanku, Kandangan - Kediri.
Sebuah kegentingan sejarah yang didahului oleh apa yang pernah disebut Bung Karno sebagai era Vivere Pericoloso. Tahun - tahun yang menyerempet bahaya.
Untuk ukuran kota kecil seperti Kandangan ini, ternyata dampaknya cukup dahsyat. Ini dapat dimengerti karena sebagian besar warganya kala itu bisa dibilang cukup melek politik. Dan secara geografis, kotaku ini secara tradisional berada ditengah - tengah heterogenitas ideologi dan kelas sosial. Petani, buruh, pegawai, kaum santri maupun golongan ningrat, melebur dan membaur nyaris tanpa sekat. Pondok pesantren bertebaran di hampir seluruh pelosok desa. Begitupun gereja - gereja, serta sejumlah pura terutama di desa - desa pegunungan.
Potensi konflik horisontal inilah yang akhirnya mencapai puncaknya pada paruh terakhir tahun 1965.
Dan di desa Mlancu khususnya, pernah tercatat sebuah peristiwa kelam dalam sejarah negeri ini. Sebuah peristiwa yang merenggut jiwa 700 orang warga desa setempat secara serempak hanya dalam waktu kurang dari setengah hari.

Desa Mlancu - September 2017

Setelah terjadi peristiwa gerakan 30 September 1965 yang gagal di Jakarta, suasana desa Mlancu terasa mencekam. Konon karena di desa ini sebagian besar warganya adalah anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) sebuah organisasi underbow PKI.
Hingga pada suatu hari di awal bulan November 1965, terjadilah sebuah peristiwa tragedi kemanusiaan yang menorehkan duka yang sangat dalam.

***

Langit berawan kelabu saat aku menuju desa Mlancu. Sendirian tanpa kawan. Kucari rumah salah seorang kenalanku yang bernama pak Sukiran di dusun Bakalan desa Mlancu. Aku berharap akan mendapatkan sekelumit kisah bersejarah itu darinya. Setelah beberapa kali kuketuk pintu rumahnya ternyata pak Sukiran tidak ada. Sedang jualan di pasar Kandangan, kata tetangga depan rumahnya.
Aku memang belum pernah mengunjungi dusun ini sebelumnya. Setelah bertanya pada beberapa orang warga, akhirnya aku bertemu dengan seorang bapak tua yang usianya kira - kira sepantaran usia bapakku. Setelah aku memperkenalkan diri, dengan ramah beliau mengajakku ngobrol di teras rumahnya yang sederhana. Dalam hati aku menyadari bahwa niat utamaku untuk mendapatkan informasi sejarah, pastilah merupakan hal yang sensitif. Pak Palal nama bapak yang bersahaja ini. Asli kelahiran desa Mlancu tahun 1938. Ternyata pak Palal ini kenal dekat dengan beberapa orang tetanggaku, seperti Cak Radi yang loper Krupuk, pak Slamet sopir KUD, pak Supadi Jl. Sunan Kalijogo, pak Sunari rukang reparasi sepeda, pak Asmu'i guru ngajiku yang ternyata adalah temannya waktu nyantri di pesantren Kiai Muhtadi - Slatri - Kasembon. Kakek dengan 7 anak dan 11 cucu berusia 79 tahun ini tertawa dan berbinar - binar matanya saat menceritakan kembali kenekatannya mencintai seorang santriwati asal Madiun bernama Siti Mariyam, yang sekarang menjadi istrinya. Aku berupaya menggiringnya untuk bernostalgia dengan mengenang kisah bersama sahabat - sahabatnya itu. Hingga ketika obrolan nostalgia itu berada di kisaran tahun 1963 - 1971, meluncur juga dari bibir tuanya kisah tentang kejadian di rumah lurah Jamal Prawito. Kepala desa Mlancu di tahun 1965.
Dia berada di desa Medowo saat peristiwa pembantaian itu terjadi. Menurut pak Palal yang saat peristiwa terjadi berusia 27 tahun, pagi itu warga diperintahkan berkumpul di rumah kepala desa, karena akan ada pengumuman penting. Dan setelah warga berkumpul tenyata disana sudah dikepung oleh sepasukan anggota Banser Anshor yang di drop dari pondok Tebu Ireng Jombang. Tanpa perlawanan berarti, warga desa laki - laki yang terindikasi sebagai anggota BTI/PKI akhirnya dieksekusi ditempat itu juga. Di seputaran rumah kepala desa Jamal Prawito. Begitu banyaknya korban yang jatuh pada hari itu, sehingga proses eksekusi yang dimulai sekitar jam 11 siang, baru berakhir menjelang sore hari.
Ngeri aku membayangkan, betapa sore itu ratusan mayat tumpang tindih di halaman depan, samping dan belakang rumah pak lurah. Darah menggenang dimana - mana. Ngilu rasanya membayangkan suasananya.


Jalan menuju dusun Sumberagung, tempat kediaman pak lurah Jamal Prawito.


Pak Palal (79 tahun)


Bekas rumah lurah Jamal Prawito, ditandai dengan dua buah tugu kecil bercat merah putih


Yang tersisa hanya bekas pondasi rumah


Saksi bisu sebuah tragedi kemanusiaan

Mayat - mayat korban akhirnya dikuburkan di tempat itu juga secara apa adanya oleh warga desa yang masih tersisa. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1969, barulah kerangka para korban itu dipindahkan ke sebuah lahan perkebunan disebelah timur makam desa.
Berbekal petujuk dari pak Palal, setelah berpamitan, aku berusaha mencari tempat pemakaman kembali kerangka para korban itu.

Makam di dusun Bakalan

Setelah berada di areal pemakaman desa, aku masih harus mencari titik tepat lokasi kuburan massal itu. Kuburan desa ditepi hutan itu sangat sepi, sehingga aku tidak menemukan orang untuk bertanya. Kira - kira setengah jam kemudian, barulah kutemui seorang petani yang baru saja pulang dari ladangnya. Kudatangi orang itu saat sedang mencuci cangkulnya di sebuah sungai kecil. Pak Wagimin nama petani itu. Dari bapak tua ini aku ditunjukkan lokasi persisnya kuburan massal itu. Dari pengakuannya, dia ini termasuk salah satu orang yang ikut menguburkan kerangka para korban waktu itu. Dia juga yang sesekali membersihkan tempat itu, dan menaminya dengan pohon puring merah.

Pak Wagimin


Lokasi kuburan massal dilihat dari kejauhan


The Killing Field 
Ternyata cukup bersih dan terawat. Terdiri dari lima bidang tanah berderet yang cukup luas.


Ditempat itu aku tidak mampu menterjemahkan apapun yang muncul di kepalaku. Aku hanya sanggup memandangi kuburan luas itu dan terdiam. Yang terpikirkan hanyalah aku ingin memanjatkan doa bagi arwah para korban. Bagaimanapun toh mereka ini adalah saudara - saudara kita juga.

*****


Kematian bukanlah tragedi
Kecuali jika kita curi dari Tuhan
hak untuk menentukannya
Kematian tidak untuk ditangisi
Tetapi apa yang menyebabkan kematian
itulah yang harus diteliti

Nyawa badan
Nyawa rohani
Nyawa kesadaran
Nyawa pikiran
Nyawa hak untuk tenteram
Nyawa kesadaran untuk berbagi kesejahteraan
Nyawa amanat untuk merawat keadilan

Nyawa, nyawa, nyawa, nyawa ..
Itu dihembuskan oleh Tuhan.
Dielus - elus dan disayang - sayang
Bahkan nyawa setiap ekor coro
Bahkan nyawa seekor cacing yang
menggeliat - geliat
Dijaga oleh Tuhan dalam tata kosmos
keseimbangannya

Tuhan sangat bersungguh - sungguh dalam
mengurusi setiap tetes embun yang Ia tampung di sehelai daun
Tuhan menyayangi dengan sepenuh hati
setiap titik debu yang menempati persemayamannya di tengah ruang
Tapi kita ISENG...sesama manusia
Kita tidak serius terhadap nilai - nilai
Bahkan terhadap Tuhah sekalipun,
kita bersikap setengah hati

(Emha Ainun Nadjib)


2 komentar:

  1. Saya juga telah mendapatkan informasi pembantaian di desa Mlancu melalui buku Kronik 65 yang baru terbit. Apakah saudara bisa menceritakan lebih detail konflik apakah yang terjadi sebelum terjadinya pembantaian tersebut sehingga memakan korban yang begiti banyak. Kalau hitungan 700 orang di tahun 1965, itu berarti hampir laki2 seluruh desa telah dibantai, begitu dasyatnya saya membyangkan. Bagaimana rekonsiliasi pasca pembantaian tersebut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setelah saya konfirmasi lagi ke beberapa warga setempat, ada yang menyebut angka 584, 490 sekian, dll. Tapi berapapun angkanya, tetaplah sebuah bilangan yang fantastis utk ukuran sebuah desa kecil. Konflik lokal pra kejadian sepertinya tidak ada. Kecuali semacam show of force skala kecil spt persaingan pawai drum band, dll. Itupun di kecamatan Kandangan, bukan di Mlancu-nya.

      Hapus